Oleh:
Haima Najachatul Mukarromah,
Alvian Qodri Azizi
A. PENDAHULUAN
Istilah feminisme pertama kali dipakai
dalam literatur barat pada tahun 1880 akhir abad XIX, yang secara tegas
menuntut kesetaraan hukum dan politik antara perempuan dan laki-laki masih terus diperdebatkan, namun secara
umum bisa dipakai untuk menggambarkan ketimpangan gender, subordinasi, dan
penindasan terhadap perempuan.
Menurut Achmad Muthali’iin, “feminisme” berasal dari kata latin femina yang berarti memiliki sifat
keperempuanan.
Namun feminisme yang dimaksudkan disini adalah kesadaran akan posisi perempuan
yang rendah dalam masyarakat, dan keinginan untuk memperbaiki atau mengubah
keadaan tersebut.
Yunahar Ilyas memaparkan feminis dalam pengertian secara praksis yaitu
suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam
masyarakat di tempat kerja, dalam keluarga dan tindakan secara sadar oleh
perempuan atau laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut.
Hampir senada dengan apa yang dikatakan oleh Yunahar, Budhy Muawwar
mendifinisikan feminisme dalam hubungannya dengan disiplin keilmuan sosiologi
sebagai sebuah perspektif dari analisis gender yang dapat membantu manusia
untuk melakukan dekonstruksi image stereotype perempuan.
B.
PEMBAHASAN
1.
Akar Histori
Feminisme
Sejarah feminisme terbagi dalam dua fase, feminisme lahir
bersamaan dengan era pencerahan Eropa yang
dipelopori oleh Lady Mary Worlky Montagu dan Marquis de Condarcet, mereka juga
merupakan tokoh dalam perkumpulan perempuan ilmiyah. Feminisme merupakan
gerakan yang cukup mendapat perhatian dari perempuan kulit putih Eropa yang pertama
kali di kreasikan oleh aktifis sosial utopis yang bernama Charles Fourier pada
tahun 1837. Gerakan center eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat
sejak Jhon Stuart Mill menerbitkan The Subjection Of Women, inilah merupakan
awal perjuangan feminisme, yang mana pada masa itu merupakan masa pemasungan
terhadap kebebasan perempuan yang secara umum pada saat itu perempuan dirugikan
dalam segala bidang. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datang era
liberalism: memuncaknya angka produksi
sehingga ikut terlibatnya perempuan sebagai pekerja pabrik pada tahun 1780-an dan terjadinya refolusi Perancis pada abad 18
yang kemudian gemanya melanda Amerika dan Seluruh dunia. Dan fase ini disebut
sebagai gelombang pertama dalam sejarah feminisme.
Gelombang kedua lahir setelah terjadinya perang dunia kedua yang
ditandai dengan lahirnya Negara-negara baru yang terbebas dari penjajah Eropa.
Pada tahun 1960 diikutsertakan perempuan dalam hak suara parlemen, merupakan
awal perempuan mendapat hak pilih dan selanjutnya menduduki ranah politik
kenegaraan,yang dipelopori oleh feminis Perancis yaitu Helen Cixous
dan Julia Kristeva. Dengan keberhasilan gelombang pertama ini perempuan dunia
pertama (perempuan kulit putih) mereka perlu menyelamatkan perempuan dunia
ketiga (perempuan kulit hitam) dengan asumsi bahwa perempuan adalah sama, yang
mana kebiasaan pada saat itu kulit putih selalu menjadikan budak perempuan
kulit hitam.
Gerakan feminisme juga melanda Negara-negara Islam,
diantaranya adalah Mesir sebagai tempat
transformasi sains dan teknologi Eropa merupakan pintu gerbang
masuknya feminisme ke dunia
Islam pada awal abad ke-20. Perubahan yang terjadi saat itu adalah busana kaum
perempuan dan laki-laki , banyak perempuan juga sudah mulai terlihat
dijalan-jalan, perempuan Mesir tidak lagi hanya tinggal di dalam rumah. Mereka mulai berperan aktif dalam organisasi, bidang
pendidikan bahkan dalam bidang politik juga. Apalagi setelah alat-alat
komunikasi berkembang, perubahan ini juga diikuti dan merambah kenegara Islam
lainya.
2.
Teori-teori Feminis
a. Feminisme Liberal
Tokoh aliran ini antara lain Margaret
Fuller (1810-1850), Harriet
Martineau (1802-1876), Angelina
Grimke (1792-1873) dan Susan Anthony (1820-1906), yang pertama kali melontarkan
teori ini adalah Mary Wollstonecraft
pada tahun 1789 dalam sebuah karya Vindication of the Right of Women.
Adapun pokok pikiran aliran ini adalah setiap individu, laki-laki maupun
perempuan memiliki hak-hak yang sama dan mestinya tidak ada tindakan penindasan
antara yang satu dengan yang lain. Kapasitas pemikiran rasional laki-laki
setara dengan perempuan sehingga
mempunyai kesempatan yang sama dalam membuat keputusan dan menentukan
pilihan-pilihan terbaiknya. Meskipun demikian kelompok aliran ini menolak
persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dalam beberapa hal reproduksi,
aliran ini masih memandang perlu adanya perbedaan antara laki-laki dan
perempuan, kelompok juga membenarkan adanya kerjasama antara laki-laki dan
perempuan . Hal ini dikehendaki agar perempuan diintegrasikan dalam semua peran
baik pekerjaan diluar rumah. Dengan demikian
tidak adalagi suatu kelompok jenis kelamin yang lebih dominan. Kelompok ini
beranggapan bahwa tidak mesti dilakukan perubahan struktural secara menyeluruh
tetapi cukup melibatkan perempuan dalam berbagai peran, seperti dalam peran
sosial, ekonomi maupun politik. Organ reproduksi bukan merupakan penghalang
peran-peran tersebut.
b. Feminisme Marxis-Sosialis
Aliran ini
berkembang di Jerman dan Rusia dengan menampilkan tokohnya antara lain seperti:
Clara Zetkin(1857-1933) dan Rosa Luxemburg (1871-1919). Aliran ini berupaya untuk
menghilangkan “struktur
kelas dalam
masyarakat berdasarkan jenis kelamin
dengan melontarkan isu bahwa ketimpangan antara kedua jenis kelamin
lebih disebabkan oleh faktor budaya
alam. Mereka menganggap ketimpangan gender di dalam masyarakat adalah akibat penerapan sistim
yang mendukung terjadinya tenaga kerja tanpa upah bagi perempuan dalam rumah,
istri mempunyai ketergantungan lebih tinggi pada suami dari pada sebaliknya.
Perempuan senatiasa mencemaskan keadaan ekonomi , karena mereka memberikan
dukungan penuh pada suaminya. Para suami digambarkan sebagai kaum borjuis dan istri sebagai proletar yang
tertindas. Struktur
ekonomi atau kelas di dalam masyarakat memberikan pengaruh efektif terhadap
status perempuan, oleh karena itu untuk mengangkat harkat dan martabat
perempuan supaya seimbang dengan laki-laki diperlukan peninjauan kembali struktural secara mendasar
terutama dengan menghapuskan dikotomi pekerjaan sektor domestik dan sektor
publik.
c.
Feminisme Radikal
Perintis aliran ini adalah charlotte Perkins Gilman, Emma Goldma
dan Margaret Sanger,
aliran ini muncul dipermulaan abad ke-19 dengan mengangkat isu menggugat semua
lembaga yang dapat merugikan perempuan yakni lembaga patriarki yang dinilai
merugikan perempuan. Tidak hanya menuntut persamaan hak dengan laki-laki tetapi
juga persamaan “seks“ dalam arti kepuasan seksual juga dapat diperoleh dari
sesama perempuan sehingga mentolelir praktik lesbian. Aliran ini mengupayakan pembenaran rasional gerakannya dengan
mengungkapkan fakta bahwa laki-laki adalah masalah bagi perempuan. Laki-laki
selalu mengeksploitasi fungsi reproduksi
perempuan dengan berbagai dalih. Mereka juga menolak keluarga sebagai institusi formal hubungan laki-laki
dan perempuan yang dianggap sebagai sumber ketidakadilan gender. Akhirnya
aliran ini mendapat tantangan keras dari kalangan sosiolog juga kalangan feminis sendiri , terutama
tokoh feminis liberal yang banyak berfikir realistis, karena aliran liberal
menganggap bahwa dengan adanya persamaan total akan merepotkan kaum perempuan
sendiri.
3.
Feminisme Perspektif
Islam
3.1
Perempuan dalam Lintas
Sejarah
Sebelum agama Islam datang perempuan
sering menjadi perdebatan dalam berbagai forum, perempuan masih diperdebatkan
hakikatnya. Kaum filsuf meragukan apakah perempuan memiliki roh atau tidak ?
Jika memiliki roh perempuan termasuk dalam kategori manusia ataukah binatang ?
Jika memiliki roh dan termasuk golongan manusia apakah kedudukannya dengan
laki-laki sama atau budak ? Itulah isu sentral tentang perempuan di kalangan
filsuf dulu. Orang Yunani memandang perempuan sebagai penyebab lahirnya
perbuatan setan, bahkan dianggap sebagai barang komoditi yang bisa
diperjual-belikan di pasar bebas. Perempuan tidak berhak melakukan transaksi
apa pun dan tidak boleh memiliki sesuatu benda apa pun, bahkan tidak boleh
mendapatkan warisan sedikit pun. Bila ditinggal mati suaminya, seorang istri bisa
diwariskan kepada saudaranya atau kerabatnya. Di
India perempuan bagaikan benda yang tidak boleh hidup sepeninggal suaminya, ia
harus dibakar hidup-hidup. Di Persia kehidupan perempuan bergantung pada
laki-laki, bisa dibunuh oleh suaminya bila mau dan bisa juga dipenjarakan di
rumah untuk selamanya. Kondisi masyarkat Arab pada masa jahiliyyah menganggap
perempuan penyebab kehinaan keluarga. Al-Qur’an melukiskan kondisi Arab
Jahiliyah sebagai mana termaktub pada surat An-Nahl: 58-59.
Pasca kedatangan agama Islam, perempuan hidup sebagaimana
layaknya manusia. Dia terhormat seperti laki-laki, tidak ada lagi manusia yang
meragukan kemanusiaan perempuan atau memperdebatkan hakikatnya. Perempuan sama
dengan laki-laki dalam hal rohnya nilainya hak-haknya dan kemanusiaanya. Beberapa hal yang dilakukan Islam untuk
mengangkat harkat perempuan adalah: Pertama,
al-Qur’an menegaskan kemanusiaan perempuan dan kesejajaran dengan laki-laki
yang terkandung dalam Q.S. al-Hujuraat; 13.
Kedua, Fase pembentukan janin laki-laki dan perempuan tidak berbeda ditegaskan
Allah,” Bukankah dia dahulu setetes mani
yang ditumpahkan (ke dalam rahim), Kemudian mani itu menjadi segumpal darah,
lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya, Lalu Allah menjadikan
daripadanya sepasang: laki-laki dan perempuan.”(Q.S. Al-qiyamah 37-39). Ketiga, perbuatan yang dilakukan setaraf
dengan apa yang dilakukan laki-laki, “Maka
Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman):
"Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di
antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah
turunan dari sebagian yang lain” (Q.S.Ali-Imran: 195). Keempat, Islam telah mempersamakan berbagai kewajiban yang
berkaitan dengan ibadat seperti salat, puasa, haji, dan zakat: “Dan Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat,
dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat” (Q.S. An-nur; 56). Islam juga memberikan hak yang sama untuk
mendapatkan warisan “Bagi orang laki-laki
ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang
wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya,
baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan” (Q.S.
An-Nisa; 7). Kelima, persamaan antara
perempuan dan laki-laki dalam tata hukum muamalat, seperti jual beli dan
akad-akad lainnya. Sebagaimana dalam (Q.S. Al-Maidah; 1) “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”. Keenam, Islam menyamakan sanksi terhadap
keduanya bila melanggar hukum Allah ” Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika
kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (Q.S. An-Nur; 2)
3.2
“Ketidakadilan”
Perempuan
Alat analisis pada umumnya yang digunakan oleh penganut aliran llmu sosial
konflik untuk memusatkan perhatian pada ketidakadilan struktural dan sistem
adalah dengan pendekatan gender. Gender
adalah behavioral defferences antara laki-laki dan perempuan yang social
constructed, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ciptaan Tuhan,
melainkan diciptakan oleh baik kaum laki-laki dan perempuan melalui proses
sosial dan budaya yang panjang. Oleh karena itu gender berubah dari waktu ke
waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas sementara jenis kelamin
biologis (seks) akan tetap tidak berubah.
Dari studi peran gender ini ditemukan berbagai manifestasi ketidakadilan
antara lain: Pertama, terjadinya marginalisasi (pemiskinan ekonomi) terhadap
kaum perempuan. Misalnya, banyak perempuan desa tersingkirkan dan menjadi
miskin akibat dari program pertanian Revolisi Hijau yang hanya memfokuskan pada
petani laki-laki. Ada pekerjaan yang bisa dikerjakan oleh perempuan seperti
guru taman kanak-kanak dan sekretaris akan tetapi pekerjaan tersebut dinilai
lebih rendah dibanding pekerjaan laki-laki, dan sering berpengaruh terhadap
perbedaan gaji antara pekerjaan yang dikerjakan oleh laki-laki dan perempuan. Kedua,
terjadinya salah satu subordinasi terhadap salah satu jenis seks, yang pada
umumnya adalah kaum perempuan. Seperti anggapan karena perempuan nantinya toh
kedapur, mengapa harus sekolah tinggi-tinggi, perempuan itu “emosional” maka
tidak tepat untuk menjadi manajer, itu semua adalah bentuk subordinasi yang
dimaksudkan. Oleh karena itu, selama berabad-abad perempuan juga tidak boleh
memimpin apa pun, tidak dipercaya untuk memberikan kesaksian, bahkan tidak
mendapatkan warisan.
Ketiga, pelabelan negatif (stereotype) terhadap
jenis kelamin tertentu. Contohnya, karena label perempuan itu bersolek dalam
rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan (violence)
atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan label ini. Sehingga masyarakat
cenderung menyalahkan perempuan yang sebenarnya adalah korban. Anggapan
masyarakat bahwa tugas utama perempuan adalah melayani suami, berakibat
terjadinya diskriminasi terhadap pendidikan kaum perempuan.
3.3
Tafsir “Perempuan”
Peranan penting juga terdapat pada
tafsir agama yang dipandang dapat menjadi legitimasi dominasi laki-laki atas
perempuan sehingga melahirkan perilaku kekerasan terhadap perempuan,
ketidakadilan sosial, dan adanya bias gender di masyarakat muslim. Membincang
penggolongan tafsir “perempuan” dapat diklasifikasikan menjadi berikut:
Ø Tafsir perempuan
paradigma tradisional/klasik
Tafsir perempuan telah ada sejak zaman
Rasulullah, namun sulit ditentukan kapan penafsiran tentang perempuan ini
pertama kali muncul. Kemudian berlanjut pada zaman tabi’in dan terus berkembang
hingga zaman kita sekarang. Kajian
tafsir al-Qur’an pertama kali mengalami kesempurnaannya di tangan ath-Thabari
dalam kitabnya Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an. Metode penafsiran
yang digunakan at-Thabari masih bercorak klasik-tradisional, karena
penafsirannya mengenai ayat-ayat perempuan secara parsial dan otomistik,
serta kurang mengkaitkan dengan situasi dan kondisi yang ada. Penafsir-penafsir
lain yang muncul setelahnya seperti Zamakhsyari, ar-Razi, dll.
Ø Tafsir perempuan
paradigma modern/kontemporer
Dalam dunia modern, cara dan aktivitas
penafsiran secara substansial tidak berubah, namun pendekatan yang dilakukan
para penafsir modern mengalami pergeseran. Secara umum interpretasi al-Qur’an
modern ditandai oleh tiga prinsip yang saling berkaitan, yaitu : Adanya usaha
menginterpretasikan al-Qur’an dalam rangka pikir dan metodologi ilmiah, adanya usaha untuk
membebaskan al-Qur’an dari cerita-cerita legenda, ide-ide primitif,
cerita-cerita tahayul, magis dan khurofat, adanya
usaha-usaha untuk merasionalisasikan doktrin yang ada dalam atau dijastifikasi
oleh al-Qur’an. Tafsir
kontemporer biasanya lebih banyak berkecimpung dalam isu-isu budaya, politik
dan ekonomi.
Berikut contoh beberapa penafsir modern
dalam tafsir perempuan :
Dalam pandangannya, problem utama yang
dihadapi oleh umat Islam adalah kemunduran masyarakat Islam dan kecenderungan
meniru budaya barat. Maka untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan kembali
kepada kemurnian Islam dan memperbaharuinya. Salah satunya yaitu dengan
melakukan reinterpretasi al-Qur’an. Abduh mengemukakan beberapa sarat yang harus
dipenuhi seorang mufassir, bahwa seorang mufassir harus memahami kosa kata
al-Qur’an, harus menguasai bahasa arab, tahu dengan baik kondisi manusia, mengetahui ajaran al-Qur’an tentang
perkembangan bahasa, ahli dalam konteks periode kenabian untuk dapat memahami
celaan al-Qur’an terhadap masyarakat pada masa itu, dan juga harus mengetahui
kehidupan nabi. Menurutnya,
pesan moral al-Qur’an merupakan cita-cita tertinggi yang harus dicapai umat
Islam. Pandangan semacam ini tercermin dalam penafsirannya terhadap ayat
poligami, al-Qur’an surat 4:3, yang berbunyi: “Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Setelah menafsirkannya, dia berkomentar
bahwa poligami membawa manfaat pada periode awal Islam, karena dengan poligami
itu lebih mempererat pertalian darah antar mereka, sehingga rasa solidaritas
kesukuan bertambah kuat. Poligami pada saat itu juga tidak membawa kemudharatan
dan persaiangan antar istri dan anak, lain halnya pada saat sekarang, poligami
akan membawa kemudharatan baik kepada istri-istri maupun anak-anak. Disini
Abduh lebih melihat kepada pesan moral al-Qur’an daripada makna literal yang
dikandungnya.
b.
Mahmud
Syaltut (w.1963)
Mahmud Syaltut
memperkenalkan al-Qur’an dengan metode tematik. Menurutnya ayat-ayat al-Qur’an
bersifat satu padu, ayat-ayat yang membicarakan satu permasalahan, saling
berkaitan antara satu dengan yang lain. Terhadap isi-isu
tentang wanita, Mahmud Syaltut berada pada posisi antara pemahaman klasik dan
modern. Otoritas laki-laki terhadap istrinya tidak lebih dari kepemimpinan
keluarga. Seperti yang ditegaskan dalam firman Allah swt yang berbunyi : “Karena Allah swt
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain”.
(an-Nisa’ : 34).
Hal ini tidak berarti bahwa superioritas
kaum laki-laki atas perempuan bersifat absolut, tetapi lebih bersifat organis,
seperti halnya tangan kanan manusia lebih kuat dari tangan kirinya.
c.
Fazlurrohman
Menurutnya, pengetahuan yang obyektif tentang masalalu bisa diketahui
melalui penalaran terhadap sistem nilai al-Qur’an secara ekstra historis
“dimensi transidental”. Penafsiran masa lalu sangat dibatasi oleh waktu dan
tempat. Maka dari itu Rahman melihat pentingnya membuat model teoritis yang
membedakan antara
makna literal al-Qur’an dan
rationes legis (illat hukum) yang
berada dibalik hukum. Jadi, perlu dilakukan interpretasi dalam bentuk Hermeneutik
double movement
.
Gerakan tersebut adalah:
Gerakan pertama, terdiri dari dua langkah,
yaitu (i) “orang harus memahami arti atau makna suatu pernyataan (ayat) dengan
mengkaji situasi atau problem historis di mana pernyataan al-Qur’an tersebut
merupakan jawabannya”; dan (ii) “menggeneralisasikan respon-respon spesifik
tersebut dan menyatakannya sebagai ungkapan-ungkapan yang memiliki tujuan
moral-sosial umum, yang dapat ‘disaring’ dari ungkapan ayat-ayat spesifik dalam
sinaran latar belakang sosio-historis dan dalam sinaran rationes legis (‘illat
hukum) yang sering dinyatakan.” Jadi, ide pokok gerakan pertama ini adalah
“berpikir dari ayat-ayat spesifik menuju kepada prinsip.”
Gerakan kedua,
merupakan upaya perumusan prinsip-prinsip umum, nilai-nilai dan tujuan-tujuan
al-Qur’an yang telah disistematisasikan melalui gerakan pertama, terhadap
situasi dan atau kasus aktual sekarang ini, menjadi pandangan-pandangan
spesifik (the spesific view).
Menurutnya, kesalahan
tradisi hukum umat Islam adalah menganggap al-Qur’an sebagai buku hukum dan
sumber hukum keagamaan. Baginya, “rationes legis” yang dituju oleh al-Qur’an
lebih penting daripada ketentuan legal spesifiknya. Ia berpendapat, “Jika hukum
bertentangan dengan akal, maka hukum harus diubah”. Misalnya dalam memahami
al-Qur’an surat 4:34
yang mengatakan bahwa laki-laki lebih unggul atas perempuan, menurutnya ayat
ini tidak bersifat mutlak melainkan bersifat fungsional. Artinya, jika wanita
secara ekonomis telah mampu mencukupi kebutuhan diri sendiri dan rumah
tangganya, maka superioritas laki-laki atas perempuan akan berkurang.
Jadi, tinjauan superioritas laki-laki
atas perempuan adalah tinjauan sosio-ekonomis. Karena konteks masyarakat arab
pada waktu itu laki-laki adalah pencari nafkah, sebagai pencari nafkah maka
dengan sendirinya ekonomi laki-laki lebih unggul dari perempuan. Padahal belum
tentu dalam hal lain seperti di bidang intelektualitas, laki-laki lebih unggul
dari perempuan. Apalagi pada zaman sekarang orang lebih menghargai keunggulan
intelektualitas daripada kekuatan fisik.
d.
Amina
Wadud Muhsin
Amina Wadud adalah penafsir feminis yang
sangat populer pada akhir abad 20-an. Ia mengkritik penafsiran-penafsiran yang
selama ini ada mengenai perempuan, dalam bukanya yang berjudul Qur’an and
Woman, ia mempertimbangkan
kembali seluruh metode penafsiran dan mengaitkannya dengan berbagai persoalan
di era modern, termasuk masalah wanita. Menurut Amina Wadud metode tafsir secara holistik merupakan kategori
terbai. Dalam pembahasan
mengenai kesetaraan laki-laki dan perempuan, Amina Wadud menariknya ke akar
permasalahan, yakni pada awal penciptaan manusia. Amina Wadud mencatat bahwa
manusia diciptakan dari nafs yang satu, kemudian Allah menciptakan
pasangannya darinya. Menurutnya, dalam ayat ini tidak ada kejelasan bahwa kata nafs
berarti Adam, dan bila ditilik dari akar katanya, kata nafs
sebenarnya muannats. Juga tidak ada indikasi yang tepat bahwa kata zawj
adalah Hawa, karena bila dilihat dari aspek bahasa, zawj berbentuk mudzakkar.
Dia juga menolak mitos bahwa Hawa adalah
penyebab terlemparnya manusia dari surga ke dunia. Menurutnya, peringatan Allah
swt agar menjauhkan diri dari bujukan syetan ditujukan kepada Adam dan Hawa.
Pandangan negatif yang menyudutkan perempuan, bahwa perempuan menjadi penyebab
turunnya Adam dari surga dan menjadi penyebab segala malapetaka, adalah karena
pengaruh israiliyat yang datang dari kitab Taurat dan Injil. Penafsirannya
terhadap Q.S. 4:34, bahwa “Laki-laki adalah qowwamun atas perempuan”, hal itu
hanya terjadi secara fungsional, yaitu selama yang bersangkutan memenuhi
kriteria al-Qur’an : memiliki kelebihan dan memberikan nafkah. Dan
ayat ini juga tidak menerangkan bahwa laki-laki secara otomatis superior atas
perempuan, tetapi dinyatakan hanyalah bahwa Allah swt melebihkan sebagian
mereka atas sebagian yang lain. Masih
banyak lagi penafsir-penafsir lain yang datang dari kaum feminis di era
kontemporer, seperti Ali Asghar Ali Enginer, Fatima Mernissi, Mazharul Haq Khan, Muhammad Syahrur
dan sebagainya, yang mengupas masalah perempuan dengan pandangan dan metode
yang berbeda-beda.
C.
KESIMPULAN
Persoalan mendasar
dalam membahas posisi kaum perempuan (muslimat) dalam Islam adalah apakah
posisi dan kondisi masyarakat muslim di masyarakat dewasa ini telah
merefleksikan inspirasi posisi normatif kaum perempuan menurut ajaran Islam ?
Respon umat Islam tentang pertanyaan ini umumnya dapat dikategorikan menjadi
dua golongan utama. Pertama, mereka yang menganggap bahwa sistem
hubungan laki-laki dan perempuan di masyarakat ini telah sesuai dengan ajaran
Islam, karenanya tidak perlu diemansipasikan lagi. Golongan pertama ini
menghendaki “status quo”, dan menolak untuk mempermasalahkan kondisi maupun
posisi kaum perempuan. Kedua, mereka yang menganggap posisi kaum
muslimat saat ini yang berada dalam satu sistem yang diskriminatif,
diperlakukan tidak adil, karenanya tidak sesuai dengan prinsip keadilan dalam
dan dasar Islam. Kaum muslimat dianggap sebagai korban ketidak adilan dalam
berbagai bentuk dan aspek kehidupan, yang dilegitimasi oleh suatu tafsiran
sepihak dan dikkontruksi melalui budaya dan syari’at.
D.
PENUTUP
Demikian makalah yang kami susun, kami
menyadari bahwa dalam penyusunannya masih banyak kekurangan. Untuk itu kami
dari pemakalah mohon kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi perbaikan
makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat digunakan untuk menjembatani dalam
pemahaman kawan-kawan tentang pembahasan Hukum Keluarga Islam kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Dr. Munirul, M.Ag, Paradigma Tafsir Perempuan
di Indonesia,(Malang: UIN-Maliki Press 2011).
Arivia,
Gadis, Feminisme Sebuah Kata Hati, (Jakarta: Gramedia
2006).
Fakih Mansour, Posisi
Perempuan dalam Islam: Tinjauan dari Analisis Gender, dalam Membincang
Feminisme Diskursus Gender Persektif Islam, (surabaya: Risalah Gusti, 1996).
Ilyas, Yunahar, Feminisme
dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar 1997).
Ismail Patel, Adam, Perempuan, Feminisme, dan Islam, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005).
Ismail, Achmad Satori, Fiqih Perempuan dan Feminisme, dalam Membincang Feminisme Diskursus
Gender Persektif Islam, (surabaya: Risalah Gusti, 1996).
Maula, M. Jadul, Otonomi Perempuan Menabrak Ortodoksi,
(Yogyakarta: LKPSM, 1999).
Munawar-Rachman, Budhy, Islam Dan Feminisme: Dari Sentralisme Kepada Kesetaraan dalam dalam
Membincang Feminisme Diskursus Gender Persektif Islam, (surabaya: Risalah
Gusti, 1996).
Mutha’liin
, Achmad,
Bias Gender Dalam Pendidikan, (Surakarta:
Muhammadiyah University Press, 2001).
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, Terj. Nurhaidi, et. al, (Bantul: Kreasi
Wacana, 1994)
Saptari
, Ratna
dan Brigitte Holzner, Perempuan Kerja dan
Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan, (Jakarta: PT Pustaka
Utama Grafiti, 1997).
Umar, Nasarudin, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif
Al-Qur’an, (Jakarta: Para Madina, 2001).
Metodologi
atomistik (tahlili) adalah metode penafsiran al-Qur’an yang dimulai
dengan pembahasan dari ayat pertama, kemudian beralih ke ayat kedua pada satu
surat dan seterusnya. Dalam metode ini hampir tidak ada upaya mengenali lebih
jauh tema-temanya dan membahas hubungan antar ayat al-Qur’an dalam surat lain
secara tematis. Meskpun ada tetapi tampak kurang pas, karena tidak disertai dengan
penerapan prinsip-prinsip hermeunitik, metodologi yang menghubungkan
hal-hal serupa, semisal ide, struktur sintaksis, dan prinsip-prinsip yang
memiliki kesamaan tema. Baca : Dr. Munirul Abidin, M.Ag., Paradigma Tafsir
Perempuan di Indonesia, (Malang: UIN-Maliki Press 2011), Hal.49.