,','',',',',','','Di,',','saat,',',','sekarang,',',','ini',',',',',',',

Jika di titik putus asamu engkau belum ada yang menjadi pelipur laramu, yakinlah dia yang menjadi bagian dari dirimupun juga sedang menantikanmu.

Sendiri

Tak tau sejak kapan aq meninggalkan layar hijau ini, aq selalu mencurahkan apa yang ingin ku curahkan.. tapi untuk beberapa saat, beberapa waktu, aq mulai tak bisa mengungkapkannya.. aq mulai merasa sendiri, sangat sendiri.

hingga segala penat itu terkumpul disini, di hati, di fikiranku... aq menunggu waktu hingga mereka membuncah tumpah sehingga mengosongkan segala ruang yang mulanya kosong.

hari ini aq melihat catatan temanku, di blog nya dy bercerita... apakah dia juga sama hal nya dengan diriku sekarang, jarak yang jauh diantara kita membuat qt tak mungkin berbagi dengan bertatap muka, bagaimana kita bisa saling menenangkan meski hanya dengan belaian tangan dan sekedar ucapan "sudahlah... jangan bersedih"

Ya Tuhan..
kenapa di dunia ini Aq merasa sendiri,
di tanah kelahiran yang seharusnya membuat aq merasakan seperti apa yang dinyanyikan dalam lirik lagu "desaku yang kucinta", aq tak merasakannya...
Aq selalu ingin pergi dari sini. Serasa bukan disini ku temukan kebahagiaanku.

Satu hal yang mungkin tak kan pernah bisa kulupakan sepanjang aq bernafas, Aq berpura-pura bahagia karna berusaha untuk tak menyinggung dan menyakitinya. tapi apa yang dilakukan mereka? bahkan mereka tak peduli pada apa yang aq pendam. Aq menjalani hari dengan kebohongan dan kepura-puraan demi tak menyakiti orang lain. tapi aq sendiri sakit...


“PENDEKATAN FEMINISME DALAM ISLAM”



Oleh:
Haima Najachatul Mukarromah,
Alvian Qodri Azizi

A.      PENDAHULUAN
Istilah feminisme pertama kali dipakai dalam literatur barat pada tahun 1880 akhir abad XIX, yang secara tegas menuntut kesetaraan hukum dan politik antara perempuan dan laki-laki masih terus diperdebatkan, namun secara umum bisa dipakai untuk menggambarkan ketimpangan gender, subordinasi, dan penindasan terhadap perempuan.[1] Menurut Achmad Muthali’iin, “feminisme” berasal dari kata latin  femina yang berarti memiliki sifat keperempuanan.[2] Namun feminisme yang dimaksudkan disini adalah kesadaran akan posisi perempuan yang rendah dalam masyarakat, dan keinginan untuk memperbaiki atau mengubah keadaan tersebut.[3]
Yunahar Ilyas memaparkan feminis dalam pengertian secara praksis yaitu suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat di tempat kerja, dalam keluarga dan tindakan secara sadar oleh perempuan atau laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut.[4] Hampir senada dengan apa yang dikatakan oleh Yunahar, Budhy Muawwar mendifinisikan feminisme dalam hubungannya dengan disiplin keilmuan sosiologi sebagai sebuah perspektif dari analisis gender yang dapat membantu manusia untuk melakukan dekonstruksi image stereotype perempuan.[5]

B.       PEMBAHASAN
1.    Akar Histori Feminisme
Sejarah feminisme terbagi dalam dua fase, feminisme lahir bersamaan dengan era pencerahan Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Worlky Montagu dan Marquis de Condarcet, mereka juga merupakan tokoh dalam perkumpulan perempuan ilmiyah. Feminisme merupakan gerakan yang cukup mendapat perhatian dari perempuan kulit putih Eropa yang pertama kali di kreasikan oleh aktifis sosial utopis yang bernama Charles Fourier pada tahun 1837. Gerakan center eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak Jhon Stuart Mill menerbitkan The Subjection Of Women, inilah merupakan awal perjuangan feminisme, yang mana pada masa itu merupakan masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan yang secara umum pada saat itu perempuan dirugikan dalam segala bidang. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datang era liberalism: memuncaknya angka produksi sehingga ikut terlibatnya perempuan sebagai pekerja pabrik pada tahun 1780-an  dan terjadinya refolusi Perancis pada abad 18 yang kemudian gemanya melanda Amerika dan Seluruh dunia. Dan fase ini disebut sebagai gelombang pertama dalam sejarah feminisme.[6]
Gelombang kedua lahir setelah terjadinya perang dunia kedua yang ditandai dengan lahirnya Negara-negara baru yang terbebas dari penjajah Eropa. Pada tahun 1960 diikutsertakan perempuan dalam hak suara parlemen, merupakan awal perempuan mendapat hak pilih dan selanjutnya menduduki ranah politik kenegaraan,yang dipelopori oleh feminis Perancis yaitu Helen Cixous dan Julia Kristeva. Dengan keberhasilan gelombang pertama ini perempuan dunia pertama (perempuan kulit putih) mereka perlu menyelamatkan perempuan dunia ketiga (perempuan kulit hitam) dengan asumsi bahwa perempuan adalah sama, yang mana kebiasaan pada saat itu kulit putih selalu menjadikan budak perempuan kulit hitam. [7]
Gerakan feminisme juga melanda Negara-negara Islam, diantaranya adalah Mesir sebagai tempat  transformasi sains dan teknologi Eropa merupakan pintu gerbang masuknya  feminisme  ke dunia Islam pada awal abad ke-20. Perubahan yang terjadi saat itu adalah busana kaum perempuan dan laki-laki , banyak perempuan juga sudah mulai terlihat dijalan-jalan, perempuan Mesir tidak lagi hanya tinggal di dalam rumah. Mereka mulai  berperan aktif dalam organisasi, bidang pendidikan bahkan dalam bidang politik juga. Apalagi setelah alat-alat komunikasi berkembang, perubahan ini juga diikuti dan merambah kenegara Islam lainya.
2.    Teori-teori Feminis

a.    Feminisme Liberal
Tokoh aliran ini antara lain Margaret Fuller (1810-1850), Harriet Martineau (1802-1876), Angelina Grimke (1792-1873) dan Susan Anthony (1820-1906), yang pertama kali melontarkan teori ini adalah Mary Wollstonecraft  pada tahun 1789 dalam sebuah karya Vindication of the Right of Women. Adapun pokok pikiran aliran ini adalah setiap individu, laki-laki maupun perempuan memiliki hak-hak yang sama dan mestinya tidak ada tindakan penindasan antara yang satu dengan yang lain. Kapasitas pemikiran rasional laki-laki setara dengan perempuan  sehingga mempunyai kesempatan yang sama dalam membuat keputusan dan menentukan pilihan-pilihan terbaiknya. Meskipun demikian kelompok aliran ini menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dalam beberapa hal reproduksi, aliran ini masih memandang perlu adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan, kelompok juga membenarkan adanya kerjasama antara laki-laki dan perempuan . Hal ini dikehendaki agar perempuan diintegrasikan dalam semua peran baik pekerjaan diluar rumah. Dengan demikian tidak adalagi suatu kelompok jenis kelamin yang lebih dominan. Kelompok ini beranggapan bahwa tidak mesti dilakukan perubahan struktural secara menyeluruh tetapi cukup melibatkan perempuan dalam berbagai peran, seperti dalam peran sosial, ekonomi maupun politik. Organ reproduksi bukan merupakan penghalang peran-peran tersebut.[8]
b.    Feminisme Marxis-Sosialis
Aliran ini berkembang di Jerman dan Rusia dengan menampilkan tokohnya antara lain seperti: Clara Zetkin(1857-1933) dan Rosa Luxemburg (1871-1919). Aliran ini berupaya untuk menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin  dengan melontarkan isu bahwa ketimpangan antara kedua jenis kelamin lebih disebabkan oleh faktor budaya  alam. Mereka menganggap ketimpangan gender  di dalam masyarakat adalah akibat penerapan sistim yang mendukung terjadinya tenaga kerja tanpa upah bagi perempuan dalam rumah, istri mempunyai ketergantungan lebih tinggi pada suami dari pada sebaliknya. Perempuan senatiasa mencemaskan keadaan ekonomi , karena mereka memberikan dukungan penuh pada suaminya. Para suami digambarkan sebagai kaum borjuis  dan istri sebagai proletar  yang tertindas. Struktur ekonomi atau kelas di dalam masyarakat memberikan pengaruh efektif terhadap status perempuan, oleh karena itu untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan supaya seimbang dengan laki-laki diperlukan  peninjauan kembali struktural secara mendasar terutama dengan menghapuskan dikotomi pekerjaan sektor domestik dan sektor publik.[9] 
c.    Feminisme Radikal
Perintis aliran ini adalah charlotte Perkins Gilman, Emma Goldma dan Margaret Sanger, aliran ini muncul dipermulaan abad ke-19 dengan mengangkat isu menggugat semua lembaga yang dapat merugikan perempuan yakni lembaga patriarki yang dinilai merugikan perempuan. Tidak hanya menuntut persamaan hak dengan laki-laki tetapi juga persamaan “seks“ dalam arti kepuasan seksual juga dapat diperoleh dari sesama perempuan sehingga mentolelir praktik lesbian. Aliran ini mengupayakan pembenaran rasional gerakannya dengan mengungkapkan fakta bahwa laki-laki adalah masalah bagi perempuan. Laki-laki selalu mengeksploitasi  fungsi reproduksi perempuan dengan berbagai dalih. Mereka juga menolak  keluarga    sebagai institusi formal hubungan laki-laki dan perempuan yang dianggap sebagai sumber ketidakadilan gender. Akhirnya aliran ini mendapat tantangan keras dari kalangan sosiolog  juga kalangan feminis sendiri , terutama tokoh feminis liberal yang banyak berfikir realistis, karena aliran liberal menganggap bahwa dengan adanya persamaan total akan merepotkan kaum perempuan sendiri.[10]
3.    Feminisme Perspektif Islam
3.1  Perempuan dalam Lintas Sejarah
Sebelum agama Islam datang perempuan sering menjadi perdebatan dalam berbagai forum, perempuan masih diperdebatkan hakikatnya. Kaum filsuf meragukan apakah perempuan memiliki roh atau tidak ? Jika memiliki roh perempuan termasuk dalam kategori manusia ataukah binatang ? Jika memiliki roh dan termasuk golongan manusia apakah kedudukannya dengan laki-laki sama atau budak ? Itulah isu sentral tentang perempuan di kalangan filsuf dulu. Orang Yunani memandang perempuan sebagai penyebab lahirnya perbuatan setan, bahkan dianggap sebagai barang komoditi yang bisa diperjual-belikan di pasar bebas. Perempuan tidak berhak melakukan transaksi apa pun dan tidak boleh memiliki sesuatu benda apa pun, bahkan tidak boleh mendapatkan warisan sedikit pun. Bila ditinggal mati suaminya, seorang istri bisa diwariskan kepada saudaranya atau kerabatnya.[11] Di India perempuan bagaikan benda yang tidak boleh hidup sepeninggal suaminya, ia harus dibakar hidup-hidup. Di Persia kehidupan perempuan bergantung pada laki-laki, bisa dibunuh oleh suaminya bila mau dan bisa juga dipenjarakan di rumah untuk selamanya. Kondisi masyarkat Arab pada masa jahiliyyah menganggap perempuan penyebab kehinaan keluarga. Al-Qur’an melukiskan kondisi Arab Jahiliyah sebagai mana termaktub pada surat An-Nahl: 58-59.[12]
Pasca kedatangan agama Islam, perempuan hidup sebagaimana layaknya manusia. Dia terhormat seperti laki-laki, tidak ada lagi manusia yang meragukan kemanusiaan perempuan atau memperdebatkan hakikatnya. Perempuan sama dengan laki-laki dalam hal rohnya nilainya hak-haknya dan kemanusiaanya.  Beberapa hal yang dilakukan Islam untuk mengangkat harkat perempuan adalah: Pertama, al-Qur’an menegaskan kemanusiaan perempuan dan kesejajaran dengan laki-laki yang terkandung dalam Q.S. al-Hujuraat; 13.[13] Kedua, Fase pembentukan janin laki-laki dan perempuan tidak berbeda ditegaskan Allah,” Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), Kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya, Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki dan perempuan.”(Q.S. Al-qiyamah 37-39). Ketiga, perbuatan yang dilakukan setaraf dengan apa yang dilakukan laki-laki, “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain” (Q.S.Ali-Imran: 195). Keempat, Islam telah mempersamakan berbagai kewajiban yang berkaitan dengan ibadat seperti salat, puasa, haji, dan zakat: “Dan Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat (Q.S. An-nur; 56). Islam juga memberikan hak yang sama untuk mendapatkan warisan “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan” (Q.S. An-Nisa; 7). Kelima, persamaan antara perempuan dan laki-laki dalam tata hukum muamalat, seperti jual beli dan akad-akad lainnya. Sebagaimana dalam (Q.S. Al-Maidah; 1) “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”. Keenam, Islam menyamakan sanksi terhadap keduanya bila melanggar hukum Allah ” Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (Q.S. An-Nur; 2)[14]   
3.2  “Ketidakadilan” Perempuan
Alat analisis pada umumnya yang digunakan oleh penganut aliran llmu sosial konflik untuk memusatkan perhatian pada ketidakadilan struktural dan sistem adalah dengan pendekatan gender. Gender adalah behavioral defferences antara laki-laki dan perempuan yang social constructed, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ciptaan Tuhan, melainkan diciptakan oleh baik kaum laki-laki dan perempuan melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Oleh karena itu gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas sementara jenis kelamin biologis (seks) akan tetap tidak berubah.
Dari studi peran gender ini ditemukan berbagai manifestasi ketidakadilan antara lain: Pertama, terjadinya marginalisasi (pemiskinan ekonomi) terhadap kaum perempuan. Misalnya, banyak perempuan desa tersingkirkan dan menjadi miskin akibat dari program pertanian Revolisi Hijau yang hanya memfokuskan pada petani laki-laki. Ada pekerjaan yang bisa dikerjakan oleh perempuan seperti guru taman kanak-kanak dan sekretaris akan tetapi pekerjaan tersebut dinilai lebih rendah dibanding pekerjaan laki-laki, dan sering berpengaruh terhadap perbedaan gaji antara pekerjaan yang dikerjakan oleh laki-laki dan perempuan. Kedua, terjadinya salah satu subordinasi terhadap salah satu jenis seks, yang pada umumnya adalah kaum perempuan. Seperti anggapan karena perempuan nantinya toh kedapur, mengapa harus sekolah tinggi-tinggi, perempuan itu “emosional” maka tidak tepat untuk menjadi manajer, itu semua adalah bentuk subordinasi yang dimaksudkan. Oleh karena itu, selama berabad-abad perempuan juga tidak boleh memimpin apa pun, tidak dipercaya untuk memberikan kesaksian, bahkan tidak mendapatkan warisan.
Ketiga, pelabelan negatif (stereotype) terhadap jenis kelamin tertentu. Contohnya, karena label perempuan itu bersolek dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan (violence) atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan label ini. Sehingga masyarakat cenderung menyalahkan perempuan yang sebenarnya adalah korban. Anggapan masyarakat bahwa tugas utama perempuan adalah melayani suami, berakibat terjadinya diskriminasi terhadap pendidikan kaum perempuan.
3.3  Tafsir “Perempuan”
Peranan penting juga terdapat pada tafsir agama yang dipandang dapat menjadi legitimasi dominasi laki-laki atas perempuan sehingga melahirkan perilaku kekerasan terhadap perempuan, ketidakadilan sosial, dan adanya bias gender di masyarakat muslim. Membincang penggolongan tafsir “perempuan” dapat diklasifikasikan menjadi berikut:
Ø  Tafsir perempuan paradigma tradisional/klasik
Tafsir perempuan telah ada sejak zaman Rasulullah, namun sulit ditentukan kapan penafsiran tentang perempuan ini pertama kali muncul. Kemudian berlanjut pada zaman tabi’in dan terus berkembang hingga zaman kita sekarang. Kajian tafsir al-Qur’an pertama kali mengalami kesempurnaannya di tangan ath-Thabari dalam kitabnya Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an. Metode penafsiran yang digunakan at-Thabari masih bercorak klasik-tradisional, karena penafsirannya mengenai ayat-ayat perempuan secara parsial dan otomistik,[15] serta kurang mengkaitkan dengan situasi dan kondisi yang ada. Penafsir-penafsir lain yang muncul setelahnya seperti Zamakhsyari, ar-Razi, dll.
Ø  Tafsir perempuan paradigma modern/kontemporer
Dalam dunia modern, cara dan aktivitas penafsiran secara substansial tidak berubah, namun pendekatan yang dilakukan para penafsir modern mengalami pergeseran. Secara umum interpretasi al-Qur’an modern ditandai oleh tiga prinsip yang saling berkaitan, yaitu : Adanya usaha menginterpretasikan al-Qur’an dalam rangka pikir dan metodologi ilmiah, adanya usaha untuk membebaskan al-Qur’an dari cerita-cerita legenda, ide-ide primitif, cerita-cerita tahayul, magis dan khurofat, adanya usaha-usaha untuk merasionalisasikan doktrin yang ada dalam atau dijastifikasi oleh al-Qur’an. Tafsir kontemporer biasanya lebih banyak berkecimpung dalam isu-isu budaya, politik dan ekonomi.
Berikut contoh beberapa penafsir modern dalam tafsir perempuan :
a.       Muhammad Abduh[16]
Dalam pandangannya, problem utama yang dihadapi oleh umat Islam adalah kemunduran masyarakat Islam dan kecenderungan meniru budaya barat. Maka untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan kembali kepada kemurnian Islam dan memperbaharuinya. Salah satunya yaitu dengan melakukan reinterpretasi al-Qur’an. Abduh mengemukakan beberapa sarat yang harus dipenuhi seorang mufassir, bahwa seorang mufassir harus memahami kosa kata al-Qur’an, harus menguasai bahasa arab, tahu dengan baik kondisi manusia,  mengetahui ajaran al-Qur’an tentang perkembangan bahasa, ahli dalam konteks periode kenabian untuk dapat memahami celaan al-Qur’an terhadap masyarakat pada masa itu, dan juga harus mengetahui kehidupan nabi. Menurutnya, pesan moral al-Qur’an merupakan cita-cita tertinggi yang harus dicapai umat Islam. Pandangan semacam ini tercermin dalam penafsirannya terhadap ayat poligami, al-Qur’an surat 4:3, yang berbunyi:Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.[17]
Setelah menafsirkannya, dia berkomentar bahwa poligami membawa manfaat pada periode awal Islam, karena dengan poligami itu lebih mempererat pertalian darah antar mereka, sehingga rasa solidaritas kesukuan bertambah kuat. Poligami pada saat itu juga tidak membawa kemudharatan dan persaiangan antar istri dan anak, lain halnya pada saat sekarang, poligami akan membawa kemudharatan baik kepada istri-istri maupun anak-anak. Disini Abduh lebih melihat kepada pesan moral al-Qur’an daripada makna literal yang dikandungnya.
b.      Mahmud Syaltut (w.1963)[18]
Mahmud Syaltut memperkenalkan al-Qur’an dengan metode tematik. Menurutnya ayat-ayat al-Qur’an bersifat satu padu, ayat-ayat yang membicarakan satu permasalahan, saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Terhadap isi-isu tentang wanita, Mahmud Syaltut berada pada posisi antara pemahaman klasik dan modern. Otoritas laki-laki terhadap istrinya tidak lebih dari kepemimpinan keluarga. Seperti yang ditegaskan dalam firman Allah swt yang berbunyi :Karena Allah swt telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain. (an-Nisa’ : 34).
Hal ini tidak berarti bahwa superioritas kaum laki-laki atas perempuan bersifat absolut, tetapi lebih bersifat organis, seperti halnya tangan kanan manusia lebih kuat dari tangan kirinya.
c.       Fazlurrohman
Menurutnya, pengetahuan yang obyektif tentang masalalu bisa diketahui melalui penalaran terhadap sistem nilai al-Qur’an secara ekstra historis “dimensi transidental”. Penafsiran masa lalu sangat dibatasi oleh waktu dan tempat. Maka dari itu Rahman melihat pentingnya membuat model teoritis yang membedakan antara makna literal al-Qur’an dan  rationes legis (illat hukum) yang berada dibalik hukum. Jadi, perlu dilakukan interpretasi dalam bentuk Hermeneutik double movement[19]. Gerakan tersebut adalah: Gerakan pertama, terdiri dari dua langkah, yaitu (i) “orang harus memahami arti atau makna suatu pernyataan (ayat) dengan mengkaji situasi atau problem historis di mana pernyataan al-Qur’an tersebut merupakan jawabannya”; dan (ii) “menggeneralisasikan respon-respon spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai ungkapan-ungkapan yang memiliki tujuan moral-sosial umum, yang dapat ‘disaring’ dari ungkapan ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis dan dalam sinaran rationes legis (‘illat hukum) yang sering dinyatakan.” Jadi, ide pokok gerakan pertama ini adalah “berpikir dari ayat-ayat spesifik menuju kepada prinsip.” Gerakan kedua, merupakan upaya perumusan prinsip-prinsip umum, nilai-nilai dan tujuan-tujuan al-Qur’an yang telah disistematisasikan melalui gerakan pertama, terhadap situasi dan atau kasus aktual sekarang ini, menjadi pandangan-pandangan spesifik (the spesific view).[20]
 Menurutnya, kesalahan tradisi hukum umat Islam adalah menganggap al-Qur’an sebagai buku hukum dan sumber hukum keagamaan. Baginya, “rationes legis” yang dituju oleh al-Qur’an lebih penting daripada ketentuan legal spesifiknya. Ia berpendapat, “Jika hukum bertentangan dengan akal, maka hukum harus diubah”. Misalnya dalam memahami al-Qur’an surat 4:34[21] yang mengatakan bahwa laki-laki lebih unggul atas perempuan, menurutnya ayat ini tidak bersifat mutlak melainkan bersifat fungsional. Artinya, jika wanita secara ekonomis telah mampu mencukupi kebutuhan diri sendiri dan rumah tangganya, maka superioritas laki-laki atas perempuan akan berkurang.
Jadi, tinjauan superioritas laki-laki atas perempuan adalah tinjauan sosio-ekonomis. Karena konteks masyarakat arab pada waktu itu laki-laki adalah pencari nafkah, sebagai pencari nafkah maka dengan sendirinya ekonomi laki-laki lebih unggul dari perempuan. Padahal belum tentu dalam hal lain seperti di bidang intelektualitas, laki-laki lebih unggul dari perempuan. Apalagi pada zaman sekarang orang lebih menghargai keunggulan intelektualitas daripada kekuatan fisik.
d.      Amina Wadud Muhsin
Amina Wadud adalah penafsir feminis yang sangat populer pada akhir abad 20-an. Ia mengkritik penafsiran-penafsiran yang selama ini ada mengenai perempuan, dalam bukanya yang berjudul Qur’an and Woman, ia mempertimbangkan kembali seluruh metode penafsiran dan mengaitkannya dengan berbagai persoalan di era modern, termasuk masalah wanita. Menurut Amina Wadud metode tafsir secara holistik merupakan kategori terbai. Dalam pembahasan mengenai kesetaraan laki-laki dan perempuan, Amina Wadud menariknya ke akar permasalahan, yakni pada awal penciptaan manusia. Amina Wadud mencatat bahwa manusia diciptakan dari nafs yang satu, kemudian Allah menciptakan pasangannya darinya. Menurutnya, dalam ayat ini tidak ada kejelasan bahwa kata nafs berarti Adam, dan bila ditilik dari akar katanya, kata nafs sebenarnya muannats. Juga tidak ada indikasi yang tepat bahwa kata zawj adalah Hawa, karena bila dilihat dari aspek bahasa, zawj berbentuk mudzakkar.
Dia juga menolak mitos bahwa Hawa adalah penyebab terlemparnya manusia dari surga ke dunia. Menurutnya, peringatan Allah swt agar menjauhkan diri dari bujukan syetan ditujukan kepada Adam dan Hawa. Pandangan negatif yang menyudutkan perempuan, bahwa perempuan menjadi penyebab turunnya Adam dari surga dan menjadi penyebab segala malapetaka, adalah karena pengaruh israiliyat yang datang dari kitab Taurat dan Injil. Penafsirannya terhadap Q.S. 4:34, bahwa “Laki-laki adalah qowwamun atas perempuan”, hal itu hanya terjadi secara fungsional, yaitu selama yang bersangkutan memenuhi kriteria al-Qur’an : memiliki kelebihan dan memberikan nafkah. Dan ayat ini juga tidak menerangkan bahwa laki-laki secara otomatis superior atas perempuan, tetapi dinyatakan hanyalah bahwa Allah swt melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Masih banyak lagi penafsir-penafsir lain yang datang dari kaum feminis di era kontemporer, seperti Ali Asghar Ali Enginer, Fatima Mernissi, Mazharul Haq Khan, Muhammad Syahrur dan sebagainya, yang mengupas masalah perempuan dengan pandangan dan metode yang berbeda-beda.
C.      KESIMPULAN
Persoalan mendasar dalam membahas posisi kaum perempuan (muslimat) dalam Islam adalah apakah posisi dan kondisi masyarakat muslim di masyarakat dewasa ini telah merefleksikan inspirasi posisi normatif kaum perempuan menurut ajaran Islam ? Respon umat Islam tentang pertanyaan ini umumnya dapat dikategorikan menjadi dua golongan utama. Pertama, mereka yang menganggap bahwa sistem hubungan laki-laki dan perempuan di masyarakat ini telah sesuai dengan ajaran Islam, karenanya tidak perlu diemansipasikan lagi. Golongan pertama ini menghendaki “status quo”, dan menolak untuk mempermasalahkan kondisi maupun posisi kaum perempuan. Kedua, mereka yang menganggap posisi kaum muslimat saat ini yang berada dalam satu sistem yang diskriminatif, diperlakukan tidak adil, karenanya tidak sesuai dengan prinsip keadilan dalam dan dasar Islam. Kaum muslimat dianggap sebagai korban ketidak adilan dalam berbagai bentuk dan aspek kehidupan, yang dilegitimasi oleh suatu tafsiran sepihak dan dikkontruksi melalui budaya dan syari’at.[22]

D.    PENUTUP
Demikian makalah yang kami susun, kami menyadari bahwa dalam penyusunannya masih banyak kekurangan. Untuk itu kami dari pemakalah mohon kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi perbaikan makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat digunakan untuk menjembatani dalam pemahaman kawan-kawan tentang pembahasan Hukum Keluarga Islam kedepannya.




DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Dr. Munirul, M.Ag, Paradigma Tafsir Perempuan di Indonesia,(Malang: UIN-Maliki Press 2011).
Arivia, Gadis, Feminisme Sebuah Kata Hati, (Jakarta: Gramedia 2006).
Fakih Mansour, Posisi Perempuan dalam Islam: Tinjauan dari Analisis Gender, dalam Membincang Feminisme Diskursus Gender Persektif Islam, (surabaya: Risalah Gusti, 1996).
Ilyas, Yunahar, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1997).
Ismail Patel, Adam, Perempuan, Feminisme, dan Islam, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005).
Ismail, Achmad Satori, Fiqih Perempuan dan Feminisme, dalam Membincang Feminisme Diskursus Gender Persektif Islam, (surabaya: Risalah Gusti, 1996).
Maula, M. Jadul, Otonomi Perempuan Menabrak Ortodoksi, (Yogyakarta: LKPSM, 1999).
Munawar-Rachman, Budhy, Islam Dan Feminisme: Dari Sentralisme Kepada Kesetaraan dalam dalam Membincang Feminisme Diskursus Gender Persektif Islam, (surabaya: Risalah Gusti, 1996). 
Mutha’liin , Achmad, Bias Gender Dalam Pendidikan, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001).
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, Terj. Nurhaidi, et. al, (Bantul: Kreasi Wacana, 1994)
Saptari , Ratna dan Brigitte Holzner, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1997).
Umar, Nasarudin, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Para Madina, 2001).



[1] Gadis Arivia, Feminisme Sebuah Kata Hati, (Jakarta: Gramedia 2006), hal. 10.
[2] Achmad Mutha’liin, Bias Gender Dalam Pendidikan, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001), hal. 78.
[3] Ratna Saptari dan Brigitte Holzner, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1997), hal. 47
[4] Yunahar Ilyas, “Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1997), hal. 41.
[5] Budhy Munawar-Rachman “Islam Dan Feminisme: Dari Sentralisme Kepada Kesetaraan” dalam dalam Membincang Feminisme Diskursus Gender Persektif Islam, (surabaya: Risalah Gusti, 1996), hal. 190. 
[6] George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern”, Terj. Nurhaidi, et. al, (Bantul:Kreasi Wacana, 1994), hal 490.
[7] Adam Ismail Patel, Perempuan, Feminisme, dan Islam, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005), hal 45.
[8] Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an”, (Jakarta: Para Madina, 2001), hal 64.
[9] Ibid, hal 66.
[10] M. Jadul Maula, Otonomi Perempuan Menabrak Ortodoksi, (Yogyakarta: LKPSM, 1999), hal 8-9.
[11] Achmad Satori Ismail, “Fiqih Perempuan dan Feminisme”, dalam Membincang Feminisme Diskursus Gender Persektif Islam, (surabaya: Risalah Gusti, 1996), hal 135.
[12] Artinya:  Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.(Q.S An-Nahl: 58-59)
[13] Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.( Q.S. Al-Hujuraat; 13)

[14] Disisi lain, Islam memberi ketentuan khusus bagi peremapuan. Misalnya, ketika haid dan nifas perempuan tidak diperbolehkan salat, puasa, namun harus mengqadha puasa pada hari lain. Tidak wajib salat jum’at di masjid. Kesaksian perempuan setengah kesaksian laki-laki (Q.s. Al-Baqarah; 282). Perempuan diperbolehkan memakai sutra dan emas sedangkan laki-laki diharamkan. Pembagian warisan dalam keadaan ashabah perempuan mendapatkan setengah bagian laki-laki (Q.s. An-Nisa’;12)
[15] Metodologi atomistik (tahlili) adalah metode penafsiran al-Qur’an yang dimulai dengan pembahasan dari ayat pertama, kemudian beralih ke ayat kedua pada satu surat dan seterusnya. Dalam metode ini hampir tidak ada upaya mengenali lebih jauh tema-temanya dan membahas hubungan antar ayat al-Qur’an dalam surat lain secara tematis. Meskpun ada tetapi tampak kurang pas, karena tidak disertai dengan penerapan prinsip-prinsip hermeunitik, metodologi yang menghubungkan hal-hal serupa, semisal ide, struktur sintaksis, dan prinsip-prinsip yang memiliki kesamaan tema. Baca : Dr. Munirul Abidin, M.Ag., Paradigma Tafsir Perempuan di Indonesia, (Malang: UIN-Maliki Press 2011), Hal.49.
[16]  Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada tahun1849 M dan wafat pada tahun 1905 M.
[17] Q.S. an-Nisa’ : 3.
[18] Mahmud Syaltut adalah seorang tokoh modernis Mesir dan Rektor universitas al-Azhar Kairo dari tahun 1958-1963.
[19] Rahman menawarkan metode hermeneutika double movement , yaitu proses interpretasi yang melibatkan gerakan ganda, dari situasi sekarang menuju situasi di mana Al-Qur’an diturunkan, untuk kemudian kembali lagi ke masa sekarang. Baca : http://esq-news.com., membincang dialektika tafsir kontemporer, 21-11-2013.
[20] http://smjsyariah89.wordpress.com., metodologi pembaharuan hukum islam, 21-11-2013.
[21] Artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita,oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. ( Q.S. An-Nisa’ : 34)
[22] Mansour Fakih, “Posisi Perempuan dalam Islam: Tinjauan dari Analisis Gender”, dalam Membincang Feminisme Diskursus Gender Persektif Islam, (surabaya: Risalah Gusti, 1996), hal. 37.


Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More